Mencintai Politik, Merawat Demokrasi
2 mins read

Mencintai Politik, Merawat Demokrasi

Dalam diskursus publik, politik sering kali hadir sebagai kata yang mencemaskan. Ia dicap sebagai ruang penuh intrik, kebohongan, dan perebutan kekuasaan. Kalimat semacam “politik itu kotor” atau “jangan masuk ke dunia politik kalau ingin tetap bersih” menjadi semacam dogma sosial yang diam-diam membentuk jarak antara rakyat dan kekuasaan. Pandangan ini tidak hanya simplistik, tetapi juga berbahaya secara epistemologis dan demokratis.

Padahal jika ditilik dari sejarah dan filsafat politik, kita justru menemukan bahwa politik adalah medium paling sah untuk mewujudkan cita-cita keadilan dan kesejahteraan bersama. Politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota, dan politikos yang merujuk pada urusan warga negara. Dalam kerangka inilah, Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politikon makhluk politik karena hanya lewat kehidupan politiklah manusia bisa menunaikan martabat sosial dan moralnya.

Sayangnya, politik di negeri ini kerap kali dicemari oleh praktik transaksional, politik uang, dan oligarki kepentingan yang menyimpang dari tujuan luhur kekuasaan. Tetapi kita mesti jernih membedakan: yang kotor adalah praktik politisi tertentu, bukan politik itu sendiri. Seperti pisau yang bisa digunakan untuk menyelamatkan maupun melukai, politik juga tergantung pada tangan siapa ia berada.

Di era demokrasi, politik adalah instrumen utama untuk menyusun arah bangsa. Dari politik lahir regulasi, distribusi anggaran, perlindungan hak minoritas, dan jaminan pendidikan serta kesehatan. Politik adalah sarana memutus rantai kemiskinan struktural dan membuka akses setara bagi semua warga negara. Ketika dijalankan dengan niat melayani, politik adalah ibadah sosial yang suci.

Justru karena itulah, kaum muda, intelektual, dan masyarakat sipil tidak boleh menjauh dari politik. Jika orang-orang baik mundur, maka ruang itu akan diambil oleh mereka yang tak punya komitmen kebangsaan. Demokrasi tanpa partisipasi akan menjadi ilusi. Politik tanpa etika akan menjadi panggung kekuasaan yang korosif.

Sudah saatnya kita melahirkan narasi baru: politik itu indah. Ia indah karena memungkinkan warga negara memperjuangkan nilai. Ia indah karena menghadirkan harapan melalui kebijakan. Ia indah karena melibatkan proses deliberasi, kompromi, dan solidaritas sosial. Dalam politik yang sehat, tidak ada yang ditinggalkan semua diperjuangkan.

Maka, tantangan kita hari ini bukan menjauhi politik, tetapi menjadikannya bersih. Bukan membenci kekuasaan, tetapi memastikan kekuasaan digunakan secara benar. Karena sesungguhnya, mencintai politik adalah jalan panjang untuk merawat demokrasi.

Penulis : Evensianus Dahe Jawang – Sekjend Fornusa

Editor : Tim Redaksi On Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *