Fidusia: Antara Perlindungan Hukum dan Jerat yang Membungkam Konsumen
Unversitas Nahdlatul Ulama
Oleh: Khairunnisa
Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia semakin akrab dengan skema pembiayaan kredit, mulai dari kendaraan bermotor hingga barang elektronik. Namun di balik kemudahan cicilan yang ditawarkan, ada satu istilah yang sering luput dari perhatian publik: fidusia.
Entah karena kurangnya edukasi atau karena istilah hukum yang terasa “berat”, sebagian besar konsumen tidak benar-benar memahami apa arti fidusia, bagaimana mekanismenya, dan lebih penting lagi hak apa yang sebenarnya mereka miliki.
Saat Konsumen Membeli, Apakah Ia Benar-Benar Memiliki?
Pertanyaan itu mungkin terdengar sederhana, tetapi jawabannya tidak sesederhana itu.
Dalam skema fidusia, meskipun konsumen memegang kendaraan dan menggunakannya setiap hari, secara hukum mereka bukan pemilik penuh sampai cicilan lunas. Hak kepemilikan sementara itu berada di tangan pihak pembiayaan.
Bagi sebagian orang, ini mungkin terlihat wajar. Bagaimanapun, perusahaan pembiayaan juga mengambil risiko. Namun masalah muncul ketika aturan itu dimanfaatkan secara tidak adil atau lebih parah konsumen tidak diberitahu sepenuhnya mengenai konsekuensinya.
Kasus Penarikan Paksa: Bukti Ada yang Tidak Beres
Penarikan kendaraan secara sepihak dan bahkan dengan cara intimidatif masih sering terjadi. Ironisnya, banyak konsumen menyerah begitu saja karena merasa tidak punya pilihan. Padahal, sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, penarikan kendaraan tanpa sertifikat fidusia yang sah dapat dikategorikan melawan hukum.
Tetapi mari kita jujur: berapa banyak konsumen yang tahu adanya putusan itu?
Atau lebih realistis lagi berapa banyak perusahaan pembiayaan yang bersedia menjelaskan aspek itu sejak awal?
Digitalisasi Fidusia: Solusi atau Sekadar Formalitas?
Pemerintah memang sudah meluncurkan sistem pendaftaran fidusia online. Secara teori, ini membuat proses lebih transparan dan mudah dilacak. Namun lagi-lagi, digitalisasi hanya bermanfaat jika masyarakat tahu cara memeriksa dan memahami status fidusia barang yang sedang mereka cicil.
Sayangnya, survei Asosiasi Industri Pembiayaan menunjukkan lebih dari setengah konsumen kredit kendaraan bahkan tidak tahu bahwa unit mereka adalah objek fidusia.
Fenomena ini sama seperti membeli tiket kereta tanpa tahu di mana pintu keluar: kita bergerak, tetapi tanpa kepastian.
Kita Memerlukan Ekosistem yang Adil, Bukan Sekadar Regulasi
Fidusia tidak salah. Dalam ekosistem pembiayaan yang sehat, fidusia adalah instrumen penting untuk menjamin kepercayaan dan kepastian hukum. Tetapi tanpa keseimbangan antara kewajiban perusahaan dan hak konsumen, fidusia akan berubah menjadi alat penekan, bukan pelindung.
Jika industri pembiayaan ingin membangun kepercayaan jangka panjang, maka edukasi, transparansi kontrak, dan prosedur eksekusi yang manusiawi adalah hal yang tidak bisa ditawar.
Akhirnya, Pertanyaan Besarnya: Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan?
Hari ini, fidusia berdiri di persimpangan: apakah ia akan menjadi instrumen hukum yang modern, adil, dan melindungi kedua belah pihak? Atau justru berubah menjadi jerat legal yang memperkuat dominasi perusahaan dan melemahkan konsumennya?
Jawabannya bukan hanya bergantung pada regulasi, tetapi pada keberanian masyarakat memahami haknya dan kesiapan industri untuk menghormatinya. Karena pada akhirnya, hukum harus hadir bukan sekadar untuk memastikan pembayaran cicilan berjalan lancar tetapi untuk memastikan keadilan tetap memiliki tempat.
Referensi
https://swarajustisia.unespadang.ac.id/index.php/UJSJ/article/view/499
https://journal.elena.co.id/index.php/humaniorum/article/download/67/55
