Ketika Hiburan Menyentuh Batas Penghinaan
On Berita – Jakarta – Tayangan Xpose Uncensored yang ditayangkan oleh TRANS7, bagian dari jaringan besar Trans Corp, kini menuai gelombang kecaman luas dari publik. Program yang diklaim sebagai karya jurnalistik dan hiburan investigatif itu justru menampilkan konten yang secara substansial dapat dikategorikan sebagai penghinaan terstruktur terhadap individu dan kelompok tertentu.
Dalam pandangan publik dan menurut kerangka hukum penyiaran nasional, apa yang disajikan dalam tayangan tersebut bukan sekadar kesalahan editorial biasa. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dengan tegas melarang lembaga penyiaran menayangkan siaran yang mengandung unsur fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Larangan ini juga tercantum secara jelas dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang diterbitkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Jika isi tayangan Xpose Uncensored terbukti mengandung unsur manipulasi fakta, framing sepihak, dan pelanggaran prinsip jurnalistik, maka tidak hanya manajemen TRANS7 yang harus dimintai pertanggungjawaban, tetapi juga Manajemen dan CEO Trans Corp sebagai induk perusahaan.
Pasalnya, tanggung jawab etis dan hukum tidak berhenti pada level redaksi atau tim produksi, melainkan juga mencakup struktur korporasi yang memberikan izin, supervisi, dan arah editorial terhadap setiap produk tayangan.
Dalam konteks hukum, hal ini diatur dalam Pasal 36 ayat (5) UU Penyiaran, yang menegaskan bahwa isi siaran wajib menjaga moralitas, etika, serta tidak menimbulkan keresahan di masyarakat. Ditambah lagi, Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE melarang penyebaran konten penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media elektronik.
Dengan demikian, bila unsur tersebut terbukti ada, maka pertanggungjawaban hukum harus menyeluruh hingga ke pucuk pimpinan perusahaan media.
Lebih jauh, program ini bukan hanya menabrak batas etika penyiaran, tapi juga menodai martabat dunia media Indonesia. Alih-alih memberikan informasi yang mendidik, berimbang, dan faktual, tayangan tersebut justru menampilkan narasi provokatif yang mempermalukan pihak lain secara terbuka. Bentuk tayangan seperti ini lebih pantas disebut sebagai penghinaan terstruktur daripada karya hiburan, pengetahuan, apalagi produk jurnalistik.
Dalam situasi ini, publik berhak menuntut penyelidikan tuntas dari KPI, Dewan Pers, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk memeriksa secara menyeluruh proses produksi dan penayangan tayangan tersebut. Pertanyaan besar kini mengemuka:
Bagaimana mungkin sebuah program dengan konten yang sedemikian problematik bisa lolos dari pengawasan internal, kecuali memang ada pembiaran sistemik dari manajemen puncak?
Oleh karena itu, Manajemen dan CEO Trans Corp sebagai pihak yang menaungi seluruh unit bisnis di bawah grup tersebut tidak bisa bersembunyi di balik alasan “kesalahan teknis redaksi.”
Mereka memikul tanggung jawab moral dan hukum atas seluruh aktivitas penyiaran di jaringan mereka. Sebagai konglomerasi media besar, seharusnya Trans Corp menjadi teladan dalam menjaga independensi, etika, dan martabat profesi jurnalistik — bukan justru melanggarnya.
Kecaman publik terhadap tayangan ini menjadi alarm keras bagi seluruh lembaga penyiaran nasional.
Kebebasan berekspresi memang dijamin oleh undang-undang, tetapi kebebasan itu tidak pernah boleh digunakan untuk menebar fitnah, mempermalukan, atau menghancurkan reputasi seseorang dengan alasan hiburan.
Publik kini menunggu langkah nyata dari KPI, Dewan Pers, dan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa hukum ditegakkan secara adil, dan bahwa Trans7 serta Trans Corp, termasuk CEO-nya, dimintai pertanggungjawaban penuh atas pelanggaran ini.
Kasus Xpose Uncensored bukan sekadar masalah tayangan. Ini adalah ujian serius bagi integritas penyiaran dan kebebasan pers di Indonesia.
Ketika media gagal menjaga kehormatannya sendiri, maka publik berhak bersuara — agar kebenaran dan keadilan tidak dikorbankan atas nama rating dan sensasi.
Penulis : Suhandoko (Aktivis Sarbumusi NU)
Editor : Ali Ramadhan
