
Pemerintah mengguyur bank-bank Himbara Rp 200 triliun, menantikan manfaatnya, waspadai risikonya
Beberapa hari lalu Kementerian Keuangan mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 276 Tahun 2025 yang mengatur tentang penempatan dana negara sebesar Rp 200 triliun di 5 (lima) bank BUMN yang merupakan strategi pengelolaan kas negara dengan tujuan mendorong penyaluran kredit ke sektor riil dan “membasahi” sistem ekonomi agar likuiditas ekonomi nasional terjaga. Meskipun bukan langkah baru, pemerintah menerapkan kebijakan yang sama saat pandemi untuk mendorong pemulihan ekonomi, namun kebijakan kali ini cukup menyita perhatian publik karena jumlahnya lebih besar, jangkauannya lebih luas dan otomatis tantangan dan risikonya juga besar.
Ide Besarnya: “Basahi” Sistem Keuangan, Ekonomi Bergerak
Di kebijakan ini, pemerintah menempatkan dananya dalam bentuk deposito on call, artinya pemerintah akan “menitipkan” uang di bank dan pemerintah berhak menarik dananya kembali setelah waktu “penitipan” berakhir. Selain itu, bank juga wajib menyalurkannya kembali ke sektor riil. Dengan begitu, uang negara yang sebelumnya “nganggur” di kas negara bisa bergerak dan memberikan efek berganda (multiplier effect) di lapangan.
Beberapa aturan utama dari kebijakan tersebut berupa: tenor penempatan maksimal 6 bulan dan bisa diperpanjang, pemerintah mendapatkan imbal hasil dari penempatan tersebut sekitar 4% serta larangan dana tidak dipakai untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN), jadi memang fokusnya harus ke ekonomi riil.
Tapi seperti kebijakan keuangan lainnya, selain manfaat yang bisa dicapai, ada juga potensi kelemahan yang sebaiknya diwaspadai sejak awal.
Potensi Risiko: Gagal mengelola Risiko, Manfaat Hilang
1.Politisasi Kredit
Adanya kemungkinan intervensi dari pejabat untuk mengarahkan penyaluran kredit ke “proyek titipan”. Dalam situasi ini sudah hampir dipastikan penyaluran kredit tidak berdasarkan kelayakan usaha, tapi lebih karena kedekatan atau tekanan politik.
2. Pindah Tempatnya Dana Menganggur
Jika dalam waktu singkat bank kesulitan menyalurkan dana yang masuk, akhirnya hanya akan memindahkan pengendapan dana dari Bank Indonesia (BI) ke bank-bank Himbara dan akhirnya tidak akan tercapai tujuan awal kebijakan tersebut yakni mendorong ekonomi lewat perputaran dana.
3.Penyaluran Kredit yang Tidak Tepat Sasaran
Meskipun bank dapat menyalurkan kembali dana dalam waktu dekat, terbuka kemungkinan kredit yang disalurkan tidak sepenuhnya untuk sektor riil. Misalnya, kredit untuk konsumsi kelas menengah atas berupa kredit kendaraan mewah atau properti premium. Secara teknis “riil”, tapi minim dampak pada penciptaan lapangan kerja atau pertumbuhan ekonomi rakyat. Atau bahkan penyaluran kepada entitas “bermasalah”
4.Data fiktif Atau Manipulasi Data Penyaluran
Risiko lain yang perlu diwaspadai adalah manipulasi data kredit. Contohnya, kredit lama dilaporkan sebagai penyaluran baru, atau kredit bermasalah di “salon” menjadi seolah-olah bagus. Bila hal ini terjadi, alih-alih manfaat yang didapat justru kerugian negara yang akan terjadi.
Bagaimana Menambal Celah Risiko Tersebut?
Ada beberapa langkah penting yang sebaiknya dipertimbangkan:
1.Pertegas kriteria target penerima kredit
Kejelasan kriteria akan mempersempit potensi penyaluran yang tidak tepat sasaran.
2.Tentukan Indikator Kinerja yang Jelas bagi Bank Penerima Dana
Sebagai contoh: Bank penerima dana harus punya target berapa persen dana tersalurkan dalam 1 bulan?, kalau tidak tercapai, harus ada konsekuensinya.
3.Audit Independen Berkala
Selain adanya kewajiban pelaporan oleh bank, perlu ada audit independen dari BPK atau pihak ketiga secara berkala pula untuk memastikan tidak ada manipulasi atau penyimpangan dalam penyaluran dan pelaporannya.
4.Adanya Saluran Pengaduan Publik
Masyarakat umum juga diberikan kesempatan melaporkan dan memberikan informasi jika ada dugaan intervensi, konflik kepentingan atau kredit yang tidak tepat sasaran dan masyarakat harus diberikan jaminan hukum sehingga masyarakat tidak ragu dan takut untuk melaporkan.
Penutup
Penyaluran Rp200triliun uang negara melalui bank Himbara bisa jadi salah satu cara untuk mendorong perputaran ekonomi. Tapi ibarat pisau bermata dua, kebijakan ini juga bisa berubah menjadi ladang penyimpangan dan korupsi baru atau alat politik sehingga tentunya kebijakan ini perlu pengawasan ketat dan transparansi tinggi.
Pada akhirnya, harapan kita semua adalah agar uang negara bisa benar-benar kembali ke rakyat dalam bentuk produktivitas, lapangan kerja dan kesejahteraan. Jadi, ayu kita jaga uang negara, jaga uang kita, kita capai kesejahteraan!.
Penulis : Yudiarto S.
Editor : Ali Ramadhan