Kesehatan Reproduksi Wanita Paruh Baya: Isu Terlupakan di Tengah Kampanye Publik
4 mins read

Kesehatan Reproduksi Wanita Paruh Baya: Isu Terlupakan di Tengah Kampanye Publik

On Berita – Jakarta – Di tengah gencarnya kampanye kesehatan reproduksi bagi remaja dan ibu hamil, nasib wanita paruh baya kerap luput dari perhatian. Padahal, mereka menghadapi tantangan kompleks yang membutuhkan dukungan kebijakan dan layanan yang lebih inklusif.

Selama ini kampanye kesehatan reproduksi di Indonesia masih didominasi oleh isu-isu yang menyasar kelompok usia remaja hingga wanita subur. Namun ada kelompok lain yang justru berada dalam “titik buta” perhatian kebijakan publik: wanita paruh baya usia 45–60 tahun.

Padahal, fase kehidupan ini menjadi masa yang penuh transisi biologis, psikologis, dan sosial—mulai dari gejala menopause hingga meningkatnya risiko kanker payudara dan serviks. Ironisnya, kelompok ini masih sering luput dari cakupan layanan dan data kesehatan nasional.

Menurut data BPS tahun 2022, populasi wanita berusia 45–60 tahun mencapai lebih dari 22 juta jiwa, atau sekitar 8% dari total penduduk Indonesia. Angka ini tentu bukan jumlah yang kecil, namun perhatian terhadap kesehatan mereka masih minim.

Riset Kesehatan Dasar (2018) mencatat lebih dari 30% wanita usia 45 tahun ke atas mengalami gejala fisik dan psikis akibat perubahan hormon, tetapi hanya sebagian kecil yang mengakses layanan kesehatan yang sesuai.

Kendala ini diperparah oleh stigma sosial, rendahnya literasi kesehatan, serta stereotip bahwa wanita menopause tidak lagi membutuhkan layanan kesehatan seksual dan reproduksi.

Survei nasional seperti SDKI (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia) selama ini hanya mencakup perempuan usia 15–49 tahun. Artinya, jutaan perempuan paruh baya tidak tercakup dalam data kebijakan yang seharusnya mereka juga miliki hak untuk menentukan.

Hal ini membuat kebutuhan mereka terpinggirkan dalam program nasional seperti Bangga Kencana yang digagas BKKBN, yang masih dominan berfokus pada usia subur dan pengendalian kelahiran.

Menopause bukan hanya soal berhentinya haid. Ini adalah perubahan sistemik besar dalam tubuh perempuan yang memengaruhi fisik, mental, dan kualitas hidup.

Gejala seperti hot flashes, gangguan tidur, hingga depresi ringan menjadi pengalaman umum. Namun sayangnya, edukasi publik masih minim. Studi UI tahun 2021 menunjukkan lebih dari 60% wanita usia 45–55 tahun tidak memahami perubahan hormonal yang mereka alami.

Kurikulum pendidikan pun terbukti belum mengakomodasi siklus hidup reproduktif secara utuh—lebih menekankan pubertas, kontrasepsi, dan kehamilan, tanpa menyentuh isu menopause dan penuaan seksual.

Fase paruh baya kerap diwarnai oleh tekanan hidup ganda: merawat anak sekaligus orang tua. Fenomena ini disebut sebagai sandwich generation stress.

Ditambah, banyak perempuan merasa tidak lagi produktif secara ekonomi dan sosial, yang memperkuat perasaan tidak berdaya. Di sisi lain, sebagian justru sedang berada di puncak karier dan memiliki peluang untuk hidup lebih sehat dan aktif.

Namun tanpa dukungan yang cukup dari keluarga dan sistem kesehatan, potensi ini akan sulit untuk dioptimalkan.

Salah satu masalah krusial adalah rendahnya layanan deteksi dini untuk kanker serviks dan kanker payudara pada kelompok ini. Padahal, menurut data Globocan (2021), dua kanker tersebut paling banyak menyerang wanita Indonesia, terutama di usia paruh baya.

Namun akses skrining IVA dan SADANIS di daerah masih rendah karena keterbatasan fasilitas, stigma, serta kurangnya tenaga kesehatan yang paham kebutuhan kelompok usia ini.

Peningkatan kualitas hidup wanita paruh baya harus dilakukan dengan pendekatan lintas sektor dan multidimensi. Termasuk layanan psikologis, pemantauan hormonal, dan edukasi seksual lanjutan.

Empat jenis dukungan sosial dapat memperkuat ketahanan perempuan paruh baya, menurut referensi dari BKKBN (2023) dan literatur ilmiah Dukungan konkret: bantuan finansial atau pekerjaan rumah; Dukungan emosional: empati dan kehadiran yang menenangkan; Dukungan informasi: edukasi tentang kesehatan dan layanan yang tersedia; dan Dukungan penghargaan: pengakuan terhadap peran dan kontribusi mereka.

Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan dan BKKBN, didesak untuk memperluas cakupan definisi kesehatan reproduksi, mencakup seluruh siklus hidup perempuan, termasuk menopause dan masa lanjut usia.

Langkah awalnya adalah mengintegrasikan konseling menopause, skrining kanker, dan edukasi seksual lanjut usia dalam program Bangga Kencana.

Lebih jauh, media dan masyarakat perlu menjadi ruang aman untuk diskusi terbuka soal kesehatan reproduksi paruh baya—bebas stigma, bebas diskriminasi usia.

Wanita paruh baya bukanlah “masa surut”. Mereka tetap menjadi pilar keluarga, penggerak ekonomi, dan penyumbang kesejahteraan sosial. Mengabaikan kesehatan mereka berarti mengabaikan ketahanan keluarga dan bangsa.

Membangun sistem kesehatan yang inklusif, sensitif usia, dan berkeadilan gender adalah langkah strategis menuju Indonesia Emas 2045.

#KesehatanReproduksi #WanitaParuhBaya #Menopause #KesehatanPerempuan #BanggaKencana
#SDMKuatNegaraHebat #KesehatanMental #HormonalChange #PerempuanHebat #IndonesiaEmas2045

Penulis : Rizky Sapta Nugraha

Editor : Ali Ramadhan

Sumber : Berita Kemendukbangga RI | Jakarta, 31 Juli 2025. https://kemendukbangga.go.id/posts/63febba5-4073-48ed-a25c-e9ca3e6220ad-menyingkap-isu-yang-terabaikan-kesehatan-reproduksi-wanita-paruh-baya-di-indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *