Pakar Hukum: Perubahan UU dan Aturan Kementerian/Lembaga Harus Berdasarkan Kebutuhan Publik, Bukan Elit
3 mins read

Pakar Hukum: Perubahan UU dan Aturan Kementerian/Lembaga Harus Berdasarkan Kebutuhan Publik, Bukan Elit

Jakarta, 4 Juli 2025 On Berita — Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menegaskan bahwa setiap perubahan Undang-Undang maupun aturan teknis di kementerian dan lembaga negara harus berpijak pada kepentingan publik, bukan sekadar untuk memenuhi hasrat politik kelompok elite. Hal ini ia sampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Teropong Publik di Balik Otak-Atik Undang-undang hingga Aturan Lembaga/Kementerian” yang diselenggarakan oleh Centrum Muda Proaktif dan Garundantara di Jakarta.

“Standar politik saya adalah standar yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar. Artinya, setiap perubahan regulasi semestinya berlandaskan pada konstitusi, bukan kehendak elite kekuasaan,” ujar Feri dalam diskusi tersebut.

Dalam pemaparannya, Feri menyoroti kecenderungan sejumlah anggota DPR yang menuding Mahkamah Konstitusi (MK) telah melampaui kewenangan dengan menjadi positive legislator, atau lembaga yang dinilai turut menciptakan norma baru. Menurut Feri, anggapan tersebut tidak berdasar karena fungsi korektif MK justru lahir dari kebutuhan sistemik untuk menjaga agar produk legislasi tidak menyimpang dari semangat konstitusi.

“Lucunya, kekuasaan MK untuk membatalkan UU yang bertentangan dengan UUD memang tidak disebutkan secara eksplisit dalam konstitusi. Namun dalam praktik ketatanegaraan modern, judicial review dibutuhkan justru karena pembentuk UU bisa menyimpang dari nilai-nilai dasar konstitusi,” jelas Feri.

Ia menjelaskan bahwa siapa pun boleh menafsirkan konstitusi, termasuk anggota legislatif. Namun, dalam sistem ketatanegaraan, satu-satunya tafsir yang memiliki kekuatan hukum tetap adalah tafsir para hakim konstitusi.

“Silakan saja berdebat atau tidak sepakat. Tapi pada akhirnya, putusan Mahkamah Konstitusi adalah titik akhir dari perdebatan hukum. Ia bersifat final dan mengikat. Itu yang harus dipahami,” tegasnya.

Feri juga mengkritik rendahnya literasi konstitusi di kalangan pengambil kebijakan. Ia menilai, penolakan-penolakan terhadap putusan MK acapkali muncul karena kurangnya pemahaman terhadap esensi konstitusi yang semestinya mengayomi seluruh warga negara.

“Kalau mereka betul-betul memahami kehendak konstitusi, tidak akan muncul gaya politik reaktif seperti ‘pokoknya tolak’. Konstitusi bukan hanya soal teks, tapi juga soal konteks dan sejarah,” tambahnya.

Dengan gaya santai, Feri bahkan mencontohkan bahwa urusan personal seperti pernikahan pun turut diatur dalam konstitusi. “Soal para jomblo pun masuk konstitusi. Coba lihat Pasal 28B UUD 1945, di sana disebutkan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah. Itu bentuk perlindungan negara terhadap hak-hak dasar,” ujarnya disambut tawa hadirin.

Menutup pernyataannya, Feri mengingatkan bahwa polemik seputar peran MK sebagai positive legislator bukan hal baru. Menurutnya, wacana tersebut telah muncul sejak hampir dua abad silam, namun kini justru kembali digunakan untuk mendiskreditkan lembaga yudisial ketika putusannya tidak sesuai kepentingan politik tertentu.

“Ketika putusan MK tidak menguntungkan, langsung dituduh melampaui kewenangan. Tapi kalau putusannya cocok, dipuji setinggi langit. Ini menunjukkan inkonsistensi politik elite dalam memahami hukum,” kritiknya.

Feri menekankan bahwa regulasi adalah kontrak sosial yang seharusnya lahir dari dan untuk kepentingan rakyat, bukan sebagai alat legitimasi kekuasaan.

“Negara ini berdiri di atas konstitusi. Maka bila ingin membuat atau mengubah aturan, ukurannya adalah kebutuhan rakyat, bukan ego partai atau elite,” pungkasnya.

Penulis : Rizki Abdul Rahman Wahid

Editor : Ali Ramadhan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *