Aktivisme di tengah Otoritarianisme Baru: Kritik Tajam terhadap Otak-Atik Kebijakan Negara
2 mins read

Aktivisme di tengah Otoritarianisme Baru: Kritik Tajam terhadap Otak-Atik Kebijakan Negara

Jakarta, 4 Juli 2025| On Berita – Dalam forum diskusi bertajuk “Teropong Publik di Balik Otak-atik Undang-Undang hingga Aturan Kementerian”, seorang narasumber menyampaikan kritik tajam terhadap praktik perubahan kebijakan di tubuh pemerintahan serta refleksi atas peran aktivisme dalam mengawal demokrasi.

Menurutnya, seorang presiden—siapa pun yang menjabat—pasti mengetahui perubahan besar yang terjadi di dalam pemerintahan. Namun, keputusan untuk merespons perubahan tersebut sepenuhnya bergantung pada pertimbangan politik.

“Presiden pasti tahu. Tapi soal direspons atau tidak, itu soal lain,” ujarnya dalam sesi tanya jawab.

Ia menyoroti berbagai kebijakan yang dinilai tidak populis, seperti efisiensi birokrasi dan perubahan usia pensiun, yang bisa berdampak besar jika tidak dilaksanakan dengan pertimbangan matang. “Efisiensi yang salah bisa mengorbankan orang yang justru paham tugasnya. Ini yang disebut dokter takdir,” katanya.

Menjawab pertanyaan tentang bagaimana mengkritik kebijakan dengan aman, ia menegaskan bahwa menjadi aktivis membutuhkan iman dan nyali yang kuat. Ia menyoroti berbagai risiko yang kerap dihadapi para aktivis, mulai dari intimidasi, persekusi, hingga penyadapan.

“Menjadi aktivis itu ladang ibadah. Jangan cengeng kalau diancam atau dibuntuti. Yang penting tidak menyebar hoaks, tidak menyerang personal, dan fokus pada substansi,” tambahnya.

Ia juga menekankan pentingnya etika dalam menyampaikan kritik terhadap kebijakan, bukan menyerang individu yang menjalankannya.

Dalam diskusi itu, narasumber juga menyinggung lemahnya soliditas gerakan mahasiswa akibat fragmentasi politik. Ia menyebut bahwa terlalu banyak gerakan yang terpecah berdasarkan afiliasi politik, yang justru melemahkan posisi tawar dalam menghadapi kekuasaan.

“Gerakan harus solid, tak peduli dari organisasi mana. Yang penting punya tujuan bersama, idealisme, dan keberanian,” tegasnya.

Sebagai penutup, narasumber mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah syarat usia calon wakil presiden, membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka. Ia menyebut putusan tersebut sebagai bagian dari dinamika politik yang menguntungkan keluarga presiden.

“Tanpa putusan MK itu, Gibran tak bisa maju. Kini klaim menyelamatkan ekonomi, padahal utang membengkak, dolar tinggi. Ini bukan reformasi, tapi regresi demokrasi,” pungkasnya.

FGD ini menggambarkan pentingnya ruang publik untuk menyampaikan kritik sehat dan konstruktif demi menjaga demokrasi yang transparan dan akuntabel.

Penulis : Rizki Abdul Rahman Wahid

Editor : Ali Ramadhan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *