HUTAN ADALAH MAMA, MERESPON JERITAN HATI RAKYAT PAPUA DALAM MENJAGA ALAM-NYA
3 mins read

HUTAN ADALAH MAMA, MERESPON JERITAN HATI RAKYAT PAPUA DALAM MENJAGA ALAM-NYA

ON BERITA – Banten – Tulisan ini saya buat, karena melihat pemuda papua di sosial media yang begitu menggugah jiwa. tatkala bercerita tentang betapa pentingnya hutan bagi mereka dan bagi dunia dalam menyumbang oksigen dan penyeimbang ekosistem semesta.

Di dalam sunyi pepohonan, di antara desir angin yang membisikkan doa, kita mendengar suara yang lama terabaikan “Hutan adalah Mama.” Begitulah suara lirih pemuda papua sambil meneteskan air matanya, Bagi anak-anak Papua, kalimat ini bukan sekadar metafora, melainkan kebenaran yang hidup, yang mengalir dalam darah dan bernafas dalam setiap helai daun. Hutan tidak hanya memberikan makan dan minum, tetapi juga mengajari manusia tentang kesabaran, kesetiaan, dan keabadian.

Filsafat Hutan sebagai Ibu Kehidupan

Dalam pemikiran filsafat Timur maupun Barat, alam seringkali dipahami sebagai ( Mater Alma ) Ibu yang memberikan kehidupan. Plato, dalam Timaeus, menggambarkan dunia sebagai makhluk hidup yang bernapas, sementara dalam tradisi Jawa dikenal konsep ( Ibu Pertiwi.) Di Papua, ( hutan adalah Mama ) entitas yang merawat tanpa syarat, melahirkan, dan memeluk anak-anaknya dalam kesuburan yang tak pernah habis.

Ketika hutan ditebang, sungai dikeruk, dan gunung-gunung dihancurkan demi logam-logam duniawi, kita bukan hanya merusak ekosistem, tetapi memutus tali pusar yang menghubungkan kita dengan sumber kehidupan. Manusia modern sering lupa bahwa kemajuan yang tidak berbasis pada kesakralan alam adalah kemajuan yang pincang ia berjalan, tetapi sekaligus merusak tanah tempat ia berpijak.

Hutan sebagai Cermin Keilahian

Dalam Pemikiran islam ( Khususnya Ilmu Tassawuf ), alam adalah ayat-ayat Tuhan yang terbentang (afaq), tanda-tanda yang mengajak manusia untuk merenung.

Syekh Mualna Jalaluddin Rumi berkata: “Setiap daun yang berguguran adalah kitab suci yang terbuka bagi mata hati.”

Hutan Papua, dengan segala keindahannya, adalah manifestasi dari Nama-Nama Ilahi, Ar-Rahman dalam kesejukan sungainya, Al-Muhyi dalam kesuburan tanahnya, Al-Hayy dalam desiran kehidupan yang tak pernah padam.

Ketika pemuda Papua berdiri mempertahankan hutannya, mereka tidak sekadar melawan keserakahan, tetapi menjalankan jihad akbar perang melawan kealpaan jiwa. Mereka mengingatkan kita bahwa merusak hutan berarti merusak tanda-tanda Tuhan, memutus diri dari sumber spiritual yang menghidupkan hati.

Raja Ampat dan Jeritan Bumi

Kini, di Raja Ampat, tanah yang disebut sebagai surga terakhir di bumi, suara buldoser dan mesin-mesin industri mengancam nyanyian burung Cendrawasih. Nikel, emas, dan tembaga dianggap lebih berharga daripada nafas bumi. Tapi anak-anak Papua tahu Mama tidak pernah menjual anaknya. Hutan tidak pernah meminta uang sebagai ganti oksigen, sungai tidak pernah menagih bayaran atas airnya yang jernih.

Lalu, mengapa kita tega menukarnya dengan uang?

Mari Kembali ke Pangkuan Mama

Jika kita ingin selamat, kita harus belajar dari orang Papua memandang hutan bukan sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi, melainkan sebagai sumber kehidupan yang harus dijaga. Seperti seorang anak yang kembali ke pelukan ibunya, manusia harus kembali merendahkan diri di hadapan alam, merasakan lagi getar kesakralannya.

“Hutan adalah Mama,
Dan seorang anak sejati tidak akan membiarkan ibunya terluka”

Tangerang Banten, Sabtu 07, Juni 2025


Heri Al-Bantani — Peneliti, Pegiat Literasi & Sosial Banten.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *